Senin, 25 Agustus 2014

Rahasia Di Balik Qira’ah Sab’ah


Kitab Faidh al-Barakat Karangan Mbah Arwani Kudus

Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Qira‘at
Tidak dapat dipungkiri, kemunculan qira‘at yang beraneka madzhab ini dise­babkan oleh berbagai hal.
Pertama, perbedaan qira‘at yang dibaca Nabi da­lam mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabat. Nabi menggunakan beberapa versi qira‘at. Misalnya Nabi pernah mem­baca surah As-Sajdah ayat 17 dengan cara ber­beda. Yakni, pada kata qurrah, Nabi membacanya dengan ta‘ biasa, sedang­kan pada kesempatan lainnya dengan ta‘marbuthah (huruf ta bulat dan bertitik dua).
Kedua, pengakuan Nabi atas berba­gai qira‘at yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu. Ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam Al-Qur’an. Contohnya ketika seorang sahabat dari suku Hudzail membaca di hadapan Ra­sul “atta hin”, padahal beliau menghendaki bacaan “hatta hin”. Keluasan Nabi dalam menerima hal ini difirmankan Allah SWT, “Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, su­paya ia dapat memberi penjelasan de­ngan terang kepada mereka.” (QS Ibrahim: 4).
Ketiga, ada riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira‘at yang ada atau perbedaan riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut ayat-ayat tertentu.
Keempat, adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an.
Kelima, perbedaan syakal, harakah, atau huruf. Contohnya pada surah Al-Baqarah ayat 222. Kata “yath-hurna” bisa dibaca “yathahharna”. Jika dibaca de­ngan qira`at pertama, berarti, “dan ja­ngan­lah kamu mendekati mereka (istri-istri­mu) sampai mereka suci (berhenti dari haidh tanpa mandi terlebih dahulu)”. Se­dangkan jika dengan qira`at kedua, ber­arti, “dan janganlah kamu mendekati me­reka (istri-istrimu) sampai mereka bersuci (berhenti dari haidh dan telah mandi wajib terlebih dahulu)”.
Qira‘at ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya yang sampai kepada Rasulullah SAW. Periode qurra‘ (ahli atau imam qira‘at) yang mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada orang-orang menurut me­reka masing-masing berpedoman ke­pada masa para sahabat. Di antara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira‘at  ialah Ubay, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian be­sar sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qira‘at. Dan mereka semua pun bersandar kepada Rasulullah SAW.
Ilmu qira‘at sendiri adalah ilmu yang lahir pada masa yang sebelumnya tidak pernah disebut-sebut. Orang yang per­tama menyusunnya adalah Abi Ubaid Al-Qasim bin Salam, Abu Hatim As-Sijistani, Abi Ja’far Ath-Thabari, dan Ismail Al-Qadhi.
Adz-Dzahabi dalam kitabnya, Thaba­qat al-Qurra‘, menyebutkan bahwa saha­bat yang terkenal sebagai guru dan ahli qira‘at ada tujuh orang, yakni Utsman, Ubai, Ali, Zaid bin Tsabit, Abu Darda‘, dan Abu Musa Al-Asy’ari. Segolongan besar sahabat mempelajari qira‘at kepada Ubay.
Bermula dari Talaqqi
Talaqqi, guru membaca dan murid meng­ikuti bacaan, dari orang-orang yang tsiqah(terpercaya), merupakan kunci utama qira‘at Al-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Ra­sulullah SAW kepada para sahabatnya.
Para sahabat berbeda-beda ketika menerima qira‘at dari Rasulullah. Hingga kemudian Utsman mengirimkan mus­haf-mushaf ke berbagai kota Islam, be­liau menyertakan orang yang sesuai qi­ra‘atnya dengan mushhaf tersebut. Qi­ra‘at orang-orang ini berbeda-beda satu sama lain, sebagaimana mereka meng­ambil qira‘at dari sahabat yang berbeda pula, sedangkan sahabat juga berbeda-beda dalam mengambil qira‘at dari Ra­sulullah SAW.
Para sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan mem­bawa qira‘at masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga ketika tabi’in mengambil qira‘at dari para saha­bat. Demikian halnya dengan tabiut tabi’in yang berbeda-beda pula dalam meng­ambil qira‘at dari para tabi’in, hingga ke masa-masa berikutnya, yang kemudian mengkristal dalam bentuk beberapa madzhab qira’at.
Ahli-ahli qira‘at di kalangan tabi’in juga telah menyebar di berbagai kota. Tabi’in ahli qira‘at yang tinggal di Madinah antara lain Ibn Al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan ’Atha‘ (keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal dengan Mu’ad Al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz Al-A’raj, Ibn Syihab Az-Zuhri, Muslim bin Jundab, Zaid bin Aslam.
Adapun yang tinggal di Makkah di an­taranya ‘Ubaid bin ’Umair, ‘Atha` bin Abi Rabah, Thawus, Mujahid, ‘Ikrimah, Ibnu Abi Malikah.
Tabi’in yang tinggal di Kufah antara lain ‘Alqamah, Al-Aswad, Maruq, ‘Ubai­dah, ‘Amr bin Syurahbil, Al-Harits bin Qais, ’Amr bin Maimun, Abu Abdirrahman As-Sulami, Said bin Jabir, An-Nakha’i, Asy-Sya’bi.
Sementara tabi’in yang tinggal di Bashrah di antaranya Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nashr bin ‘Ashim, Yahya bin Ya’mar, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah.
Sedangkan tabi’in yang tinggal di Syam di antaranya Al-Mughirah bin Abi Syihab Al-Makhzumi dan Khalid bin Sa’ad.
Keadaan ini terus berlangsung hingga muncul para imam qira‘at yang termasy­hur, yang mengkhususkan diri dalam qi­ra‘at-qira‘at tertentu dan mengajarkan qi­ra‘at mereka masing-masing.
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qi­ra‘at. Para ahli sejarah menyebutkan bah­wa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira‘at adalah Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, yang wafat pada tahun 224 H/839 M. Ia menulis kitab yang diberi nama Al-Qira‘at, yang menghimpun qira‘at dari 25 orang perawi.
Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira‘at adalah Husain bin Utsman bin Tsabit Al-Baghdadi Adh-Dharir, yang wafat pada tahun 378 H/988 M. Dengan demikian mulai saat itu qira‘at menjadi ilmu tersendiri dalam ‘ulum Al-Qur’an, ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Qira‘at Sab’ah, ‘Asyrah, dan Syadzah
Telah termasyhur diketahui bahwa ketika Khalifah Utsman RA mengirimkan mashahif (mushaf/kitab Al-Qur’an) ke pelosok negeri yang dikuasai Islam, be­liau menyertakan orang yang sesuai qi­ra‘atnya dengan mashahif tersebut. Qi­ra‘at ini berbeda satu dengan lainnya ka­rena mereka mengambilnya dari sahabat yang berbeda pula.
Perbedaan ini berlanjut pada tingkat tabi’in di setiap daerah penyebaran. De­mikian seterusnya sehingga sampai pada munculnya imam qurra’, yakni ulama-ula­ma yang pakar di bidang Al-Qur’an yang membakukan bacaan yang mereka da­pati sesuai sanad ilmu yang mereka per­oleh.
Demi kemudahan mengenali qira‘at yang banyak itu, pengelompokan dan pem­bagian jenisnya adalah cara yang sering digunakan. Maka, dari segi jumlah, ada tiga macam qira‘at yang terkenal, yaitu qira‘at sab’ah, qira‘at ‘asyrah, dan qira‘at arba’ ‘asyrah. Sedangkan Ibnu Al-Jazari membaginya dari segi kaidah ha­dits dan kekuatan sanadnya. Pengarang kitab Al-Itqan, Imam As-Suyuthi, menye­butkan kualifikasi qira‘at, seperti halnya kedudukan hadits, yakni mutawatir, masy­hur, syadz, ahad, maudhu’, dan mu­darraj. Sedangkan Al-Qadhi Jalaluddin Al-Bulqini menyatakan bahwa qira‘at itu terbagi menjadi mutawatir, ahad, dan syadz saja.
Namun demikian kedua pembagian ini saling terkait.
Pada dasawarsa pertama abad ke-4 Hijriyyah, seorang ulama Baghdad, Abu Bakr Ahmad Ibn Mujahid, menyusun se­buah kitab yang diberi nama As-Sab’ah.
Ibn Mujahid mencoba melakukan rin­tisan dengan mengumpulkan tujuh jenis qira‘at yang mempunyai sanad bersam­bung kepada sahabat Rasulullah terke­muka. Ketujuh tokoh qira‘at ini adalah Abdullah bin Katsir Ad-Dariy dari Makkah (w. 120 H/738 M), Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim dari Madinah (w. 169 H/786 M), Abdullah Al-Yahsubi atau Abu ‘Amir Al-Dimasyqi dari Syam (w. 118 H/736 M), Zabban bin Al-‘Ala bin ‘Ammar atau Abu Amr dari Bashrah (w. 154 H/771 M), Ibn Ishaq Al-Hadhrami atau Ya’qub dari Bashrah (w. 205 H/820 M), Ibn Habib Az-Zayyat atau Hamzah dari Kufah (w. 188 H/804 M), dan Ibn Abi An-Najud Al-Asady atau ‘Ashim dari Kufah (w. 127 H/754 M).
Ketika itu Ibn Mujahid menghimpun qira‘at-qira‘at mereka, ia mengganti posisi Ya’qub  dengan Al-Kisai dari Kufah (w. 182 H/798 M). Sehingga untuk Kufah, ia menetapkan tiga nama, yaitu Hamzah, ‘Ashim, dan Al-Kisai.
Meskipun di luar tujuh imam di atas masih banyak nama lainnya, ketermasy­huran tujuh imam tersebut semakin luas se­telah Ibn Mujahid secara khusus mem­bukukan qira‘at-qira‘at mereka.
Selain tujuh qira‘at di atas yang di­tetapkan Ibn Mujahid, masih ada tiga qi­ra‘at lagi yang qira‘atnya sesuai persya­ratan yang ditetapkan. Karena itu kemudi­an dikenal pula istilah qira‘at ‘asyrah (Sepuluh Qira‘at). Tiga tambahan itu ada­lah qira‘at Ya’qub (yang semula digeser Ibn Mujahid dari qira‘at sab’ah untuk diganti dengan Al-Kisai), qira‘at Khalaf bin Hisyam (w. 229 H/844 M), dan qira‘at Yazid bin Al-Qa’qa’ yang termasyhur di­sebut Abu Ja’far (w. 130 H/748). Di sam­ping itu juga dikenal qira‘at arba’ ‘asyar (Empat Belas Qira‘at), yaitu qira‘at yang sepuluh ditambah empat qira‘at lagi: Hasan Al-Bashry, Ibnu Mahish, Yahya Al-Yazidy, dan Asy-Syambudzy.
Qira‘at Syadzah (Bacaan Yang Keliru)
Qira‘at di atas digolongkan sebagai qira‘at yang shahih. Ada juga qira‘at sya­dzah, qira‘at yang keliru. Qira‘at ini mun­cul pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin ‘Affan, ketika Al-Qur’an telah di­kodifikasikan. Ada perintah untuk mem­bakar semua tulisan, selain yang dibentuk Utsman bin ‘Affan. Tidak hanya Al-Qur’an, tapi juga hadits, syair, dan lain-lain.
Peristiwa tersebut merupakan batas yang membedakan dan menentukan an­tara qira‘at shahih dan qira‘at syadzah. Oleh sebab itu kesesuaian antara satu qi­ra‘at de­ngan rasm (mushhaf) Utsmani me­ru­pakan salah satu syarat shahihnya qira‘at.
Namun Dr. Muhammad Salim Muhai­sin, dalam kitabnya, Fi Rihabi Al-Qur’an, berpendapat bahwa batas yang mem­bedakan dan menentukan antara qira‘at sha­hih dan qira‘at syadzah adalah peme­riksaan Jibril yang terakhir terhadap qi­ra‘at Al-Qur’an Nabi Muhammad SAW pada tahun wafatnya beliau. Dalam pe­meriksaan terakhir ini, sebagian qira‘at di­nasakh, dan inilah yang dianggap ke­mudi­an sebagai syadzah. Adapun, walau dari segi sanad qira‘at syadzah ada ke­mungkinan bersambung kepada Rasulul­lah, tetap meragukan.
Pengarang kitab Al-Itqan, Imam As-Suyuthi, menyebutkan kualifikasi qira‘at, seperti halnya kedudukan hadits, yakni mu­tawatir, masyhur, syadz, ahad, mau­dhu’, dan mudarraj. Sedangkan Al-Qadhi Jalaluddin Al-Bulqini menyatakan bahwa qira‘at itu terbagi menjadi mutawatir, ahad, dan syadz saja.

Yang mutawatir adalah qira‘at tujuh yang masyhur. Yang ahad adalah qira‘at tsa­latsah (tiga) yang menjadi pelengkap qira’ah ‘asyrah (sepuluh), yang kesemua­nya dipersamakan dengan qira‘at para sa­habat. Adapun qira‘at yang syadz ialah qi­ra‘at para tabi’in seperti qira‘at A’masy, Yah­ya ibnu Watsab, Ibnu Jubair, dan lain-lain.
Imam As-Suyuthi mengatakan bahwa yang pantas untuk berbicara dalam bi­dang ini adalah tokoh qurra’ pada masa­nya, Syaikh Abu Al-Khair bin Al-Jazari, beliau mengatakan dalam muqaddimah kitabnya, An-Nasyr, “Semua qira`at yang sesuai dengan bacaan Arab walau hanya satu segi dan sesuai dengan salah satu mushhaf Utsmani walaupun sekadar men­dekati, serta sanadnya benar, qira`at tersebut adalah shahih (benar), yang ti­dak ditolak, haram menentangnya, bah­kan itu termasuk dalam bagian huruf yang tujuh ketika Al-Qur’an diturunkan.
Wajib bagi semua orang untuk mene­rimanya, baik timbulnya dari imam yang tu­juh maupun dari yang sepuluh atau lain­nya, yang bisa diterima. Apabila salah satu persyaratan yang tiga tersebut tidak terpenuhi, qira‘at itu dikatakan qira‘at yang syadz atau bathil, baik datangnya dari aliran yang tujuh maupun dari tokoh yang lebih ternama lagi. Inilah pendapat yang benar menurut para muhaqqiq dari kalangan salaf maupun khalaf.”
Banyak sekali kitab qira‘at yang ditulis para ulama setelah kitab As-Sab’ah. Yang paling terkenal di antaranya adalah At-Taysir fi al-Qira‘at as-Sab’iyang disusun Abu Amr Ad-Dani, Matn asy-Syathibiyah fi Qira‘at as-Sab’ikarya Imam Asy-Syathibi, An-Nasyr fi Qira‘at al-‘Asyr karya Ibn Al-Jazari, dan Ithaf Fudhala’ al-Basyar fi al-Qira‘at al-Arba’ah ‘Asyarkarya Imam Ad-Dimyathi Al-Banna‘,ada pula kitab sabah karya ulama lokal yang mendunia yaitu Faidh al-Barakat fi as-Sab’i al-Qira’at karya KH. Arwani Amin Kudus Jateng, kitab terakhir berisi intisari dari kitab asy-syatibiyahsehingga mudah untuk dipahami. Ma­sih banyak lagi kitab lain tentang qira‘at yang membahas qira‘at dari berbagai segi secara luas hingga saat ini.


Dari hasil kajian bibliografi yang di­lakukan oleh Prof. Dr. Abdullah Muham­mad Al-Jayusi dalam sebuah konferensi qira’at Al-Qur’an dan i’jaz, Fakultas Syu’aib Ad-Dakali, Maroko, ditemukan lebih dari 500 referensi, baik klasik mau­pun kontem­porer, dalam disiplin ilmu ini. Kitab Ibraz Al-Ma’ani, yang ditulis Abd Ar-Rahman bin Ismail bin Ibrahim (termasy­hur dengan sa­paan “Abu Syamah”), ada­lah satu dari kar­ya dalam disiplin ilmu ter­sebut.

Oleh SaifurroyyaDari Berbagai Sumber

Kisah Haji Mabrur


Abdullah bin Mubarrok sudah berniat akan pergi haji tahun depan. Oleh karena itu, dia menabung dari sekarang. Menjelang musim haji tiba, dia pergi ke pasar dengan membawa uang 500 dinar untuk membeli unta sebagai kendaraan dalam perjalanan ke Mekkah. Sayang, uang sebanyak itu belum cukup untuk membeli seekor unta. Maka, dia pulang lagi ke rumah.
Di tengah perjalanan pulang, Abdullah bin Mubarrok melihat ada seorang wanita sedang membersihkan bulu ayam di tempat sampah.
Abdullah bin Mubarrok tertarik dan mendekati wanita itu. Ketika tahu bahwa ada orang yang mendekatinya, wanita itu membelakangi Abdullah bin Mubarrok. Abdullah semakin tertarik dan ingin tahu. Dia terperanjat. Ternyata wanita itu sedang membersihkan bangkai ayam.
Itu di ketahui dari tidak ada bekas potongan di leher ayam. Hatinya miris, Abdullah bin Mubarrok bertanya setelah mengucap salam.
“Wahai ibu, untuk apa ibu membersihkan bangkai ayam ini?”
“Untuk di makan.” Jawab wanita itu tanpa menoleh.
“Bukankah ibu tahu, Allah mengharamkan kita memakan bangkai ayam.”
“Bangkai ayam ini memang haram bagi tuan, tetapi tidak untukku dan anak-anakku,” jawab si wanita sambil terus membersihkan bangkai ayam itu.
“Memang apa sebabnya?” Abdullah bin Mubarrok semakin penasaran.
“Jangan campuri urusanku, pergilah menjauh dariku,” jawab wanita itu dengan nada tidak senang.
“Demi Allah, aku tidak akan pergi dari tempat ini sebelum aku tahu masalahmu!. Katakanlah wahai ibu,” Abdullah bin Mubarrok berharap.
“Baiklah, karena kau telah meminta dengan nama Allah, aku beritahu masalahku. Ketahuilah tuan, aku dan anak-anakku sudah tiga hari tidak makan kecuali minum sedikit. Suamiku gugur di jalan Allah, dan dia tidak meninggalkan warisan yang bisa di jual untuk menyambung hidup anak-anaknya yang yatim sekarang. Sedangkan, untuk meminta-minta aku malu. Aku mencari makanan kesana kemari, tapi tidak aku dapatkan kecuali bangkai ayam ini,” jawab wanita itu panjang lebar.
Hati Abdullah tergetar hebat. Air matanya mengalir deras membasahi pipinya. Pandangannya menjadi kabur dan seluruh persendianya menjadi terasa lemas. Dia benar-benar merasa sangat berdosa jika membiarkan wanita itu dan anak-anaknya memakan bangkai ayam. Lalu, sambil menunduk, dia berkata dalam hati. “Wahai Ibnu Mubarrok, haji apakah yang lebih mabrur dari pada menolong ibu ini dan anak-anaknya?”
Dan tanpa berpikir lagi. Abdullah bin Mubarrok menyerahkan semua uang yang akan di gunakannya untuk membeli unta pengangkut bekal hajinya nanti.
“Wahai ibu, mulai detik ini, bangkai ayam itu haram bagimu dan anak-anakmu! Ambilah ini, dan segeralah beri makan anak-anakmu.”
Wanita itu gembira sekali. Sambil menerima pemberian Abdullah bin Mubarrok, dia berkata, “semoga Allah merahmatimu”
Lalu wanita itu pergi meninggalkan Ibnu Mubarrok, yang dengan ikhlas pulang ke rumah. Terkubur keinginannya untuk pergi hari.
Ketika musim haji sudah selesai, Abdullah bin Mubarrok menyambut rombongan haji di batas kota bersama keluarga dan kerabat haji. Para haji yang baru pulang itu bercerita bertemu Abdullah bin Mubarrok di tempat ini dan itu. Abdullah bin Mubarrok tentu saja heran dengan cerita tersebut karena dia tidak jadi pergi haji. Namun, semua orang yang berangkat haji mengaku bertemu dengannya.
Malam harinya, Abdullah bin Mubarrok mimpi bertemu dengan Rasulullah saw. Konon, dalam mimpinya, Rasulullah bersabda, “ Wahai Ibnu Mubarrok, engkau telah merelakan bekal hajimu untuk menolong sanak keturunanku sehingga mereka terbebas dari kesulitan hidup. Maka, Allah mengutus malaikat-Nya yang diserupakan dengan dirimu pergi haji untukmu setiap tahun. Dan engkau akan menerima pahalanya sampai hari kiamat.”

Saifurroyya
Sumber ; www.nu.or.id

Minggu, 24 Agustus 2014

Doa Shalat Dhuha

doa sholat dhuha, doa sholat dhuha download, doa sholat dhuha latin, doa sholat dhuha tulisan arab, doa sholat dhuha mp3 download, doa sholat dhuha arab, doa sholat dhuha beserta artinya, doa sholat dhuha mp3, doa setelah sholat dhuha
Doa adalah senjatanya orang beriman. Doa adalah ruhnya ibadah. Doa merupakan salah satu bukti ketergantungan manusia beriman kepada Allah, Sang Maha Pencipta. Siapa pun Anda, pasti ingin doanya mustajab atau dikabulkan oleh Allah SWT. Posting kali ini adalah tentang doa shalat dhuha.

Doa sesudah sholat dhuha tidak dibatasi. Kita boleh berdoa apa saja asalkan bukan doa untuk keburukan. Doa yang terkenal dalam mazhab Syafi’i ada pada paragraf berikut. Selain doa itu, kita boleh membaca doa yang kita sukai. Namun, karena ada aturan mazhab, maka hendaklah kita jangan melupakan agar memulai doa itu dengan menyebut nama ALLAH, memuji syukur kepada-NYA dan kemudian bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW.



ALLAAHUMMA INNADH-DHUHAA ‘A DHUHAA ‘UKA - WAL BAHAA ‘A BAHAA
‘UKA – WAL JAMAALA JAMAALUKA – WAL QUWWATA QUWWATUKA –
WALQUDRATA QUDRATUKA – WAL ‘ISHMATA ‘ISHMATUKA.

ALLAAHUMMA IN KAANA RIZQII FIS-SAMAA ‘I FA ANZILHU – WA IN
KAANA FIL ARDI FA AKHRIJHU – WA IN KAANA MU’ASSARAN FA
YASSIRHU – WA IN KAANA HARAAMAN FATHAHHIRHU – WA IN KAANA
BA’IIDAN FA QARRIBHU,

BIHAQQI DHUHAA ‘IKA, WA BAHAA ‘IKA, WAJAMAALIKA, WA QUWWATIKA, WA  QUDRATIKA. AATINII MAA ‘ATAITA ‘IBAADAKASH-SHAALIHIIN.

ARTINYA:
“Wahai ALLAH, bahwasanya waktu Dhuha itu waktu Dhuha-MU – dan kecantikan
adalah kecantikan-MU – dan keindahan adalah keindahan-MU – dan kekuatan
adalah kekuatan-MU – dan kekuasaan adalah kekuasaan-MU - dan perlindungan
itu adalah perlindungan-MU.

Wahai ALLAH, jikalau rejekiku masih diatas langit, maka turunkanlah – Dan
jikalau ada didalam bumi maka keluarkanlah – dan jikalau sukar maka
mudahkanlah – dan jika haram maka sucikanlah - dan jikalau masih jauh maka
dekatkanlah

Dengan berkat waktu Dhuha, keagungan, keindahan, kekuatan Dan kekuasaan-MU.
Limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-hambamu yang shaleh.

Tags yang terkait dengan doa sholat dhuha, doa sholat dhuha download, doa sholat dhuha latin, doa sholat dhuha tulisan arab, doa sholat dhuha mp3 download, doa sholat dhuha arab, doa sholat dhuha beserta artinya, doa sholat dhuha mp3, doa setelah sholat dhuha.

Nasihat Mulia Dalam Taurat Nabi Musa as bag 8


Pesan-pesan hikmah ini adalah nasihat mulia yang dinukil oleh Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib melalui lisan Nabi Musa bin Imran dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Arab. Sedang sumber nasihat mulia ini diambil dari kitab Hadis-e Qudsikarya Thahir Khusynuwis. Kumpulan nasihat ini terdiri dari 40 surat pilihan dari kitab Taurat (yang otentik) yang Allah wahyukan kepada Nabi Musa as. Dalam kitab Tafsir Abul Fadhl disebutkan bahwa kitab Taurat (yang otentik) terdiri dari 1.000 surat. Setiap surat terdiri dari 1.000 ayat, seperti surat al-Baqarah yang mencakup 1.000 perintah, 1.000 larangan,  1.000 janji, dan 1.000 ancaman.
Saya sengaja mengetengahkan nasihat mulia ini dengan berkala, agar mudah direnungkan dan direalisasikan dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Mudah-mudahan, nasihat mulia ini dapat mendatangkan manfaat bagi kita semua yang mau merenungkan dan merealisasikannya.

Surat XV

Allah swt. Berfirman :

            Wahai orang-orang yang beriman, mengapakah kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian lakukan? Mengapa kalian melarang sesuatu yang tidak kalian tinggalkan? Kenapa kalian memerintahkan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Untuk apa kalian mengumpulkan sesuatu yang tidak kalian makan? Lantaran apa kalian menunda taubat kalian, hari demi hari, dan menunggu (untuk melakukannya) dari tahun ke tahun? Apakah kalian merasa aman dari kematian? Kalian merasa bebas dari (siksa) api neraka? Sudahkah kalian menemukan keberuntungan untuk masuk surga?
            Aku (telah) memberikan kenikmatan kepada kalian, namun angan-angan panjang telah menipu diri kalian. Janganlah kalian tertipu oleh kesehatan dan keselamatan. Sesungguhnya, hari-hari kalian teramati, nafas-nafas kalian terhitung, rahasia-rahasia kalian tersingkap, dan tirai-tirai kalian terkoyak. Karena itu, bertakwalah kepada Allah, wahai orang-orang yang berakal! Berikanlah apa yang ada pada kalian kepada orang-orang yang berada di sekitar kalian.
            Wahai anak Adam, majulah ke depan! Sesungguhnya kalian (telah) menghancurkan umur kalian (sendiri). Dan sejak hari (pertama) kalian keluar dari perut ibu kalian, setiap hari kalian mendekat kea rah kubur kalian. Janganlah kalian menjadi seperti kayu yang membakar diri (kalian) sendiri dengan api dan membakar diri selainnya (orang lain). Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad adalah hamba-Ku dan utusan-Ku.

Surat XVI

Allah swt. Berfirman :

            Wahai anak Adam, Aku Mahahidup dan tidak pernah mati. Lakukanlah apa yang telah Aku perintahkan kepada kalian dan jauhilah apa yang Aku telah melarangnya atas kalian, sehingga (dengan begitu) Aku akan menjadikan kalian (senantiasa) hidup dan tidak (akan) mati.
            Wahai anak Adam, Aku adalah raja yang tidak akan (pernah) binasa. Apabila Aku mengatakan kepada sesuatu “Jadilah”, maka sesuatu itu pun akan terjadi. Patuhlah kepada-Ku atas apa yang telah Aku perintahkan kepada kalian dan hindarilah apa yang telah Ku-larang atas kalian, sehingga (dengan begitu) kalian akan mampu mengatakan kepada sesuatu, “Jadilah’, maka sesuatu itu pun akan terjadi.
            Wahai anak Adam, apabila perkataan kalian indah sementara amal perbuatan kalian buruk, maka (dengan demikian) kalian adalah pemimpin orang-orang munafik. Jika penampilan lahiriah kalian baik sementara batin kalian buruk, maka (dengan begitu) kalian adalah orang yang paling celaka.
            Wahai anak Adam, tidak ada yang masuk (ke dalam) surga-Ku kecuali orang yang merendahkan diri di hadapan keagungan-Ku, menghabiskan hari-harinya untuk mengingat-Ku, menahan dirinya dari (deraan) hawa nafsu demi Aku, melayani orang yang terasing (tamu), menghibur orang yang miskin, menyayangi orang yang tertimpa musibah, memuliakan anak yatim dan menjadi ayah (angkat/pengasuh) yang penyayang baginya, serta bersikap seperti suami yang lemah lembut dan penuh perhatian terhadap para janda (yang lemah). Barang siapa yang memiliki sifat-sifat ini, maka apabila ia memanggil-Ku, niscaya Aku (akan) mengabulkan (permohonannya).    
   
Ditulis Oleh :  
al-Faqier ila Rahmati Rabbih
Saifurroyya
Sumber : Buku Pesan Ilahi Dalam Taurat