Senin, 25 Agustus 2014

Rahasia Di Balik Qira’ah Sab’ah


Kitab Faidh al-Barakat Karangan Mbah Arwani Kudus

Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Qira‘at
Tidak dapat dipungkiri, kemunculan qira‘at yang beraneka madzhab ini dise­babkan oleh berbagai hal.
Pertama, perbedaan qira‘at yang dibaca Nabi da­lam mengajarkan Al-Qur’an kepada para sahabat. Nabi menggunakan beberapa versi qira‘at. Misalnya Nabi pernah mem­baca surah As-Sajdah ayat 17 dengan cara ber­beda. Yakni, pada kata qurrah, Nabi membacanya dengan ta‘ biasa, sedang­kan pada kesempatan lainnya dengan ta‘marbuthah (huruf ta bulat dan bertitik dua).
Kedua, pengakuan Nabi atas berba­gai qira‘at yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu. Ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata di dalam Al-Qur’an. Contohnya ketika seorang sahabat dari suku Hudzail membaca di hadapan Ra­sul “atta hin”, padahal beliau menghendaki bacaan “hatta hin”. Keluasan Nabi dalam menerima hal ini difirmankan Allah SWT, “Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, su­paya ia dapat memberi penjelasan de­ngan terang kepada mereka.” (QS Ibrahim: 4).
Ketiga, ada riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira‘at yang ada atau perbedaan riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut ayat-ayat tertentu.
Keempat, adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an.
Kelima, perbedaan syakal, harakah, atau huruf. Contohnya pada surah Al-Baqarah ayat 222. Kata “yath-hurna” bisa dibaca “yathahharna”. Jika dibaca de­ngan qira`at pertama, berarti, “dan ja­ngan­lah kamu mendekati mereka (istri-istri­mu) sampai mereka suci (berhenti dari haidh tanpa mandi terlebih dahulu)”. Se­dangkan jika dengan qira`at kedua, ber­arti, “dan janganlah kamu mendekati me­reka (istri-istrimu) sampai mereka bersuci (berhenti dari haidh dan telah mandi wajib terlebih dahulu)”.
Qira‘at ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya yang sampai kepada Rasulullah SAW. Periode qurra‘ (ahli atau imam qira‘at) yang mengajarkan bacaan Al-Qur’an kepada orang-orang menurut me­reka masing-masing berpedoman ke­pada masa para sahabat. Di antara para sahabat yang terkenal mengajarkan qira‘at  ialah Ubay, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, dan lain-lain. Dari mereka itulah sebagian be­sar sahabat dan tabi’in di berbagai negeri belajar qira‘at. Dan mereka semua pun bersandar kepada Rasulullah SAW.
Ilmu qira‘at sendiri adalah ilmu yang lahir pada masa yang sebelumnya tidak pernah disebut-sebut. Orang yang per­tama menyusunnya adalah Abi Ubaid Al-Qasim bin Salam, Abu Hatim As-Sijistani, Abi Ja’far Ath-Thabari, dan Ismail Al-Qadhi.
Adz-Dzahabi dalam kitabnya, Thaba­qat al-Qurra‘, menyebutkan bahwa saha­bat yang terkenal sebagai guru dan ahli qira‘at ada tujuh orang, yakni Utsman, Ubai, Ali, Zaid bin Tsabit, Abu Darda‘, dan Abu Musa Al-Asy’ari. Segolongan besar sahabat mempelajari qira‘at kepada Ubay.
Bermula dari Talaqqi
Talaqqi, guru membaca dan murid meng­ikuti bacaan, dari orang-orang yang tsiqah(terpercaya), merupakan kunci utama qira‘at Al-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Ra­sulullah SAW kepada para sahabatnya.
Para sahabat berbeda-beda ketika menerima qira‘at dari Rasulullah. Hingga kemudian Utsman mengirimkan mus­haf-mushaf ke berbagai kota Islam, be­liau menyertakan orang yang sesuai qi­ra‘atnya dengan mushhaf tersebut. Qi­ra‘at orang-orang ini berbeda-beda satu sama lain, sebagaimana mereka meng­ambil qira‘at dari sahabat yang berbeda pula, sedangkan sahabat juga berbeda-beda dalam mengambil qira‘at dari Ra­sulullah SAW.
Para sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan mem­bawa qira‘at masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga ketika tabi’in mengambil qira‘at dari para saha­bat. Demikian halnya dengan tabiut tabi’in yang berbeda-beda pula dalam meng­ambil qira‘at dari para tabi’in, hingga ke masa-masa berikutnya, yang kemudian mengkristal dalam bentuk beberapa madzhab qira’at.
Ahli-ahli qira‘at di kalangan tabi’in juga telah menyebar di berbagai kota. Tabi’in ahli qira‘at yang tinggal di Madinah antara lain Ibn Al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan ’Atha‘ (keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal dengan Mu’ad Al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz Al-A’raj, Ibn Syihab Az-Zuhri, Muslim bin Jundab, Zaid bin Aslam.
Adapun yang tinggal di Makkah di an­taranya ‘Ubaid bin ’Umair, ‘Atha` bin Abi Rabah, Thawus, Mujahid, ‘Ikrimah, Ibnu Abi Malikah.
Tabi’in yang tinggal di Kufah antara lain ‘Alqamah, Al-Aswad, Maruq, ‘Ubai­dah, ‘Amr bin Syurahbil, Al-Harits bin Qais, ’Amr bin Maimun, Abu Abdirrahman As-Sulami, Said bin Jabir, An-Nakha’i, Asy-Sya’bi.
Sementara tabi’in yang tinggal di Bashrah di antaranya Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nashr bin ‘Ashim, Yahya bin Ya’mar, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah.
Sedangkan tabi’in yang tinggal di Syam di antaranya Al-Mughirah bin Abi Syihab Al-Makhzumi dan Khalid bin Sa’ad.
Keadaan ini terus berlangsung hingga muncul para imam qira‘at yang termasy­hur, yang mengkhususkan diri dalam qi­ra‘at-qira‘at tertentu dan mengajarkan qi­ra‘at mereka masing-masing.
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qi­ra‘at. Para ahli sejarah menyebutkan bah­wa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira‘at adalah Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, yang wafat pada tahun 224 H/839 M. Ia menulis kitab yang diberi nama Al-Qira‘at, yang menghimpun qira‘at dari 25 orang perawi.
Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira‘at adalah Husain bin Utsman bin Tsabit Al-Baghdadi Adh-Dharir, yang wafat pada tahun 378 H/988 M. Dengan demikian mulai saat itu qira‘at menjadi ilmu tersendiri dalam ‘ulum Al-Qur’an, ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Qira‘at Sab’ah, ‘Asyrah, dan Syadzah
Telah termasyhur diketahui bahwa ketika Khalifah Utsman RA mengirimkan mashahif (mushaf/kitab Al-Qur’an) ke pelosok negeri yang dikuasai Islam, be­liau menyertakan orang yang sesuai qi­ra‘atnya dengan mashahif tersebut. Qi­ra‘at ini berbeda satu dengan lainnya ka­rena mereka mengambilnya dari sahabat yang berbeda pula.
Perbedaan ini berlanjut pada tingkat tabi’in di setiap daerah penyebaran. De­mikian seterusnya sehingga sampai pada munculnya imam qurra’, yakni ulama-ula­ma yang pakar di bidang Al-Qur’an yang membakukan bacaan yang mereka da­pati sesuai sanad ilmu yang mereka per­oleh.
Demi kemudahan mengenali qira‘at yang banyak itu, pengelompokan dan pem­bagian jenisnya adalah cara yang sering digunakan. Maka, dari segi jumlah, ada tiga macam qira‘at yang terkenal, yaitu qira‘at sab’ah, qira‘at ‘asyrah, dan qira‘at arba’ ‘asyrah. Sedangkan Ibnu Al-Jazari membaginya dari segi kaidah ha­dits dan kekuatan sanadnya. Pengarang kitab Al-Itqan, Imam As-Suyuthi, menye­butkan kualifikasi qira‘at, seperti halnya kedudukan hadits, yakni mutawatir, masy­hur, syadz, ahad, maudhu’, dan mu­darraj. Sedangkan Al-Qadhi Jalaluddin Al-Bulqini menyatakan bahwa qira‘at itu terbagi menjadi mutawatir, ahad, dan syadz saja.
Namun demikian kedua pembagian ini saling terkait.
Pada dasawarsa pertama abad ke-4 Hijriyyah, seorang ulama Baghdad, Abu Bakr Ahmad Ibn Mujahid, menyusun se­buah kitab yang diberi nama As-Sab’ah.
Ibn Mujahid mencoba melakukan rin­tisan dengan mengumpulkan tujuh jenis qira‘at yang mempunyai sanad bersam­bung kepada sahabat Rasulullah terke­muka. Ketujuh tokoh qira‘at ini adalah Abdullah bin Katsir Ad-Dariy dari Makkah (w. 120 H/738 M), Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu’aim dari Madinah (w. 169 H/786 M), Abdullah Al-Yahsubi atau Abu ‘Amir Al-Dimasyqi dari Syam (w. 118 H/736 M), Zabban bin Al-‘Ala bin ‘Ammar atau Abu Amr dari Bashrah (w. 154 H/771 M), Ibn Ishaq Al-Hadhrami atau Ya’qub dari Bashrah (w. 205 H/820 M), Ibn Habib Az-Zayyat atau Hamzah dari Kufah (w. 188 H/804 M), dan Ibn Abi An-Najud Al-Asady atau ‘Ashim dari Kufah (w. 127 H/754 M).
Ketika itu Ibn Mujahid menghimpun qira‘at-qira‘at mereka, ia mengganti posisi Ya’qub  dengan Al-Kisai dari Kufah (w. 182 H/798 M). Sehingga untuk Kufah, ia menetapkan tiga nama, yaitu Hamzah, ‘Ashim, dan Al-Kisai.
Meskipun di luar tujuh imam di atas masih banyak nama lainnya, ketermasy­huran tujuh imam tersebut semakin luas se­telah Ibn Mujahid secara khusus mem­bukukan qira‘at-qira‘at mereka.
Selain tujuh qira‘at di atas yang di­tetapkan Ibn Mujahid, masih ada tiga qi­ra‘at lagi yang qira‘atnya sesuai persya­ratan yang ditetapkan. Karena itu kemudi­an dikenal pula istilah qira‘at ‘asyrah (Sepuluh Qira‘at). Tiga tambahan itu ada­lah qira‘at Ya’qub (yang semula digeser Ibn Mujahid dari qira‘at sab’ah untuk diganti dengan Al-Kisai), qira‘at Khalaf bin Hisyam (w. 229 H/844 M), dan qira‘at Yazid bin Al-Qa’qa’ yang termasyhur di­sebut Abu Ja’far (w. 130 H/748). Di sam­ping itu juga dikenal qira‘at arba’ ‘asyar (Empat Belas Qira‘at), yaitu qira‘at yang sepuluh ditambah empat qira‘at lagi: Hasan Al-Bashry, Ibnu Mahish, Yahya Al-Yazidy, dan Asy-Syambudzy.
Qira‘at Syadzah (Bacaan Yang Keliru)
Qira‘at di atas digolongkan sebagai qira‘at yang shahih. Ada juga qira‘at sya­dzah, qira‘at yang keliru. Qira‘at ini mun­cul pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin ‘Affan, ketika Al-Qur’an telah di­kodifikasikan. Ada perintah untuk mem­bakar semua tulisan, selain yang dibentuk Utsman bin ‘Affan. Tidak hanya Al-Qur’an, tapi juga hadits, syair, dan lain-lain.
Peristiwa tersebut merupakan batas yang membedakan dan menentukan an­tara qira‘at shahih dan qira‘at syadzah. Oleh sebab itu kesesuaian antara satu qi­ra‘at de­ngan rasm (mushhaf) Utsmani me­ru­pakan salah satu syarat shahihnya qira‘at.
Namun Dr. Muhammad Salim Muhai­sin, dalam kitabnya, Fi Rihabi Al-Qur’an, berpendapat bahwa batas yang mem­bedakan dan menentukan antara qira‘at sha­hih dan qira‘at syadzah adalah peme­riksaan Jibril yang terakhir terhadap qi­ra‘at Al-Qur’an Nabi Muhammad SAW pada tahun wafatnya beliau. Dalam pe­meriksaan terakhir ini, sebagian qira‘at di­nasakh, dan inilah yang dianggap ke­mudi­an sebagai syadzah. Adapun, walau dari segi sanad qira‘at syadzah ada ke­mungkinan bersambung kepada Rasulul­lah, tetap meragukan.
Pengarang kitab Al-Itqan, Imam As-Suyuthi, menyebutkan kualifikasi qira‘at, seperti halnya kedudukan hadits, yakni mu­tawatir, masyhur, syadz, ahad, mau­dhu’, dan mudarraj. Sedangkan Al-Qadhi Jalaluddin Al-Bulqini menyatakan bahwa qira‘at itu terbagi menjadi mutawatir, ahad, dan syadz saja.

Yang mutawatir adalah qira‘at tujuh yang masyhur. Yang ahad adalah qira‘at tsa­latsah (tiga) yang menjadi pelengkap qira’ah ‘asyrah (sepuluh), yang kesemua­nya dipersamakan dengan qira‘at para sa­habat. Adapun qira‘at yang syadz ialah qi­ra‘at para tabi’in seperti qira‘at A’masy, Yah­ya ibnu Watsab, Ibnu Jubair, dan lain-lain.
Imam As-Suyuthi mengatakan bahwa yang pantas untuk berbicara dalam bi­dang ini adalah tokoh qurra’ pada masa­nya, Syaikh Abu Al-Khair bin Al-Jazari, beliau mengatakan dalam muqaddimah kitabnya, An-Nasyr, “Semua qira`at yang sesuai dengan bacaan Arab walau hanya satu segi dan sesuai dengan salah satu mushhaf Utsmani walaupun sekadar men­dekati, serta sanadnya benar, qira`at tersebut adalah shahih (benar), yang ti­dak ditolak, haram menentangnya, bah­kan itu termasuk dalam bagian huruf yang tujuh ketika Al-Qur’an diturunkan.
Wajib bagi semua orang untuk mene­rimanya, baik timbulnya dari imam yang tu­juh maupun dari yang sepuluh atau lain­nya, yang bisa diterima. Apabila salah satu persyaratan yang tiga tersebut tidak terpenuhi, qira‘at itu dikatakan qira‘at yang syadz atau bathil, baik datangnya dari aliran yang tujuh maupun dari tokoh yang lebih ternama lagi. Inilah pendapat yang benar menurut para muhaqqiq dari kalangan salaf maupun khalaf.”
Banyak sekali kitab qira‘at yang ditulis para ulama setelah kitab As-Sab’ah. Yang paling terkenal di antaranya adalah At-Taysir fi al-Qira‘at as-Sab’iyang disusun Abu Amr Ad-Dani, Matn asy-Syathibiyah fi Qira‘at as-Sab’ikarya Imam Asy-Syathibi, An-Nasyr fi Qira‘at al-‘Asyr karya Ibn Al-Jazari, dan Ithaf Fudhala’ al-Basyar fi al-Qira‘at al-Arba’ah ‘Asyarkarya Imam Ad-Dimyathi Al-Banna‘,ada pula kitab sabah karya ulama lokal yang mendunia yaitu Faidh al-Barakat fi as-Sab’i al-Qira’at karya KH. Arwani Amin Kudus Jateng, kitab terakhir berisi intisari dari kitab asy-syatibiyahsehingga mudah untuk dipahami. Ma­sih banyak lagi kitab lain tentang qira‘at yang membahas qira‘at dari berbagai segi secara luas hingga saat ini.


Dari hasil kajian bibliografi yang di­lakukan oleh Prof. Dr. Abdullah Muham­mad Al-Jayusi dalam sebuah konferensi qira’at Al-Qur’an dan i’jaz, Fakultas Syu’aib Ad-Dakali, Maroko, ditemukan lebih dari 500 referensi, baik klasik mau­pun kontem­porer, dalam disiplin ilmu ini. Kitab Ibraz Al-Ma’ani, yang ditulis Abd Ar-Rahman bin Ismail bin Ibrahim (termasy­hur dengan sa­paan “Abu Syamah”), ada­lah satu dari kar­ya dalam disiplin ilmu ter­sebut.

Oleh SaifurroyyaDari Berbagai Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar